Skip to content
Home » Peringati 10 Muharram, Ibu-Ibu Pengajian Al-Muhajirin Dusun Sentosa Nikmati Bubur Asyura Bersama

Peringati 10 Muharram, Ibu-Ibu Pengajian Al-Muhajirin Dusun Sentosa Nikmati Bubur Asyura Bersama

GAMPONG PEURADA – Kelompok Ibu-Ibu Pengajian Al-Muhajirin Dusun Sentosa Gampong Peurada Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh memperingati tanggal 10 Muharram 1446 H dengan menyantap makanan istimewa berupa Bubur Kacang.

Bubur Kacang (Yang lebih dikenal dengan Bubur Asyura) ini biasanya dibuat dari santan kelapa, pisang, nangka, gula merah, sagu, kacang hijau, labu kuning, dan ubi jalar.

Koordinator Pengajian Al-Muhajirin, Hj. Ainal Mardhiah menyebutkan bahwa tradisi ini telah di akukan selama 2 tahun terakhir, bertepatan dengan permulaan pengajian di Dusun Sentosa. “Kegiatan ini kami lakukan secara bergotong-royong, dan hasilnya kemudian dibagikan ke anggota pengajian yang mana ini juga merupakan kontribusi masing-masing dari anggota pengajian,” Ucapnya.

Tradisi memasak Bubur Asyura merupakan bentuk ungkapan rasa syukur atas keselamatan yang diberikan Allah SWT. Menurut sejarah, bubur ini sudah ada sejak zaman Nabi Nuh. Setelah Nabi Nuh dan pengikutnya selamat dari banjir besar dengan menaiki perahu, mereka memulai tradisi memasak makanan dari berbagai jenis biji-bijian yang ada pada waktu itu.

Diceritakan bahwa setelah perahu Nabi Nuh berlabuh pada hari Asyura, beliau meminta kaumnya untuk mengumpulkan semua perbekalan yang mereka miliki. Kemudian, Nabi Nuh menginstruksikan mereka untuk memasak biji-bijian seperti kacang fuul, ‘adas, beras, gandum, dan jelai. Beliau berkata, “Masaklah semua itu, dan kalian akan merasa bahagia dan selamat.

Ainal yang juga merupakan Anggota Tuha Peut Gampong menjelaskan, peristiwa ini menjadi inspirasi bagi kelompok pengajian Al-muhajirin untuk memasak biji-bijian setiap tahun pada hari Asyura sebagai bentuk rasa syukur dan peringatan akan keselamatan yang diberikan oleh Allah SWT.

Setiap bahan yang kami gunakan dalam pembuatan Bubur Asyura memiliki makna simbolis. Misalnya, kacang-kacangan melambangkan kesuburan dan keberuntungan, sedangkan santan melambangkan kebersamaan,” Lanjut Ainal.

Proses pembuatan dimulai sejak pagi hari dan berlangsung hingga sore. Proses yang panjang ini menunjukkan dedikasi dan kebersamaan dalam melestarikan tradisi.

Setelah selesai dimasak, Bubur Asyura dibagikan kepada seluruh anggota pengajian, Hal ini mencerminkan semangat berbagi dan kepedulian sosial dalam sebuah perkumpulan.

Tradisi memasak Bubur Asyura itu sendiri juga melibatkan generasi muda, yang diajarkan oleh para orang tua tentang pentingnya nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong. Ini menjadi cara efektif untuk melestarikan tradisi agar tetap hidup dan dikenal oleh generasi berikutnya.

Di berbagai daerah di Indonesia, Bubur Asyura memiliki variasi yang unik sesuai dengan budaya dan ketersediaan bahan setempat. Misalnya, di Pidie , Bubur Asyura dimasak di tempat yang telah disepakati yang mudah dijangkau oleh semua Warga.

“Secara keseluruhan, Bubur Asyura bukan hanya sekadar hidangan, tetapi juga tradisi yang kaya akan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan rasa syukur. Dengan mempertahankan tradisi ini, masyarakat kita  Indonesia tidak hanya melestarikan warisan kuliner, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan spiritual di antara kita.” Tutup Ainal.